Teori-teori
Pendidikan
Nana
S. Sukmadinata (1997) mengemukakan 4 (empat ) teori pendidikan, yaitu :
v Pendidikan
klasik
v Pendidikan
pribadi
v Teknologi
pendidikan
v Pendidikan
interaksional
Untuk
lebih jelasnya mengenai teori-teori yang dikemukakan oleh beliau, berikut
adalah penjelasannya :
1. Pendidikan
klasik
Teori pendidikan klasik berlandaskan
pada filsafatklasik, seperti Perenialisme, Eessensialisme, dan Eksistensialisme
dan memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan
dan meneruskan warisan budaya. Teori ini lebih menekankan peranan isi
pendidikan dari pada proses.
Isi pendidikan atau materi diambil dari
khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu
yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik
mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki
peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
2. Pendidikan
pribadi
Teori pendidikan ini bertolak dari
asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu.
Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta
didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini,
peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya
menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong,
fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber
bagi pengembangan model kurikulum humanis. yaitu suatu model kurikulum yang
bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan
keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis
merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual
(kurikulum subjek akademis),
3. Teknologi
pendidikan
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep
pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan
pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang
berbeda. Dalam teknologipendidikan, lebih diutamakan adalah pembentukan dan
penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan
pemeliharaan budaya lama.
Dalam teori pendidikan ini, isi
pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus, berupa data-data
obyektif danketerampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan
vocational. Isi disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan
disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika dan para peserta didik
belajar secara individual.
Peserta didik berusaha untuk menguasai
sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi.
Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Guru
berfungsi sebagai direktur belajar, lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari
pada penyampaian dan pendalaman bahan.
4. Pendidikan
interaksional
Pendidikan interaksional yaitu suatu
konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk
sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lainnya.
Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan
interaksi. Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari
guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru.
Lebih dari itu, dalam teori pendidikan
ini, interaksi juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan
denganlingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi
terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar
lebih sekedar mempelajari fakta-fakta.
Peserta didik mengadakan pemahaman
eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat
menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi
pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksisosial.
Selain dari teori-teori tersebut, berikut akan
dijelaskan teori-teori pendidikan yang berasal dari barat.
1.
Teori Koneksionisme
Edward Lee Thorndike adalah tokoh
psikologi yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap berlangsungnya proses
pembelajaran. Teorinya dikenal dengan teori Stimulus-Respons. Menurutnya, dasar
belajar adalah asosiasi antara stimulus (S) dengan respons (R). Stimulus akan
memberi kesan kepada pancaindra, sedangkan respons akan mendorong seseorang
untuk melakukan tindakan. Asosiasi seperti itu disebut Connection. Prinsip
itulah yang kemudian disebut sebagai teori Connectionism.
Pendidikan yang dilakukan Thorndike
adalah menghadapkan subjek pada situasi yang mengandung problem. Model
eksperimen yang ditempuhnya sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan kucing
sebagai objek penelitiannya. Kucing dalam keadaan lapar dimasukkan ke dalam
kandang yang dibuat sedemikian rupa, dengan model pintu yang dihubungkan dengan
tali. Pintu tersebut akan terbuka jika tali tersentuh/tertarik. Di luar kandang
diletakkan makanan untuk merangsang kucing agar bergerak ke-luar. Pada awalnya,
reaksi kucing menunjukkan sikap yang tidak terarah, seperti meloncat yang tidak
menentu, hingga akhirnya suatu saat gerakan kucing menyentuh tali yang
menyebabkan pintu terbuka.
Setelah percobaan itu diulang-ulang,
ternyata tingkah laku kucing untuk keluar dari kandang menjadi semakin efisien.
Itu berarti, kucing dapat memilih atau menyeleksi antara respons yang berguna
dan yang tidak. Respons yang berhasil untuk membuka pintu, yaitu menyentuh tali
akan dibuat pembiasaan, sedangkan respons lainnya dilupakan. Eksperimen itu
menunjukkan adanya hubungan kuat antara stimulus dan respons.
Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam
tiga hukum dasar (Suwardi, 2005: 34-36), sebagai berikut:
a. Hukum
Kesiapan (The Law of Readiness)
Hukum ini memberikan keterangan mengenai
kesiapan seseorang merespons (menerima atau menolak) terhadap suatu stimulan.
Pertama, bila sese¬orang sudah siap melakukan suatu tingkah laku,
pelaksanaannya akan memberi kepuasan baginya sehingga tidak akan melakukan
tingkah laku lain. Contoh, peserta didik yang sudah benar-benar siap menempuh
ujian, dia akan puas bila ujian itu benar-benar dilaksanakan.
Kedua, bila seseorang siap melakukan
suatu tingkah laku tetapi tidak dilaksanakan, maka akan timbul kekecewaan.
Akibatnya, ia akan melakukan ting¬kah laku lain untuk mengurangi kekecewaan.
Contoh peserta didik yang sudah belajar tekun untuk ujian, tetapi ujian
dibatalkan, ia cenderung melakukan hal lain (misalnya: berbuat gaduh, protes)
untuk melampiaskan kekecewaannya.
Ketiga, bila seseorang belum siap
melakukan suatu perbuatan tetapi dia harus melakukannya, maka ia akan merasa
tidak puas. Akibatnya, orang tersebut akan melakukan tingkah laku lain untuk
menghalangi terlaksananya tingkah laku tersebut. Contoh, peserta didik
tiba-tiba diberi tes tanpa diberi tahu lebih dahulu, mereka pun akan bertingkah
untuk menggagalkan tes.
Keempat, bila seseorang belum siap
melakukan suatu tingkah laku dan tetap tidak melakukannya, maka ia akan puas.
Contoh, peserta didik akan merasa lega bila ulangan ditunda, karena dia belum
belajar.
b. Hukum
Latihan (The Law of Exercise)
Hukum ini dibagi menjadi dua, yaitu
hukum penggunaan (the law of use), dan hukum bukan penggunaan (the law of
disuse). Hukum penggunaan menyatakan bahwa dengan latihan berulang-ulang,
hubungan stimulus dan respons akan makin kuat. Sedangkan hukum bukan penggunaan
menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respons akan semakin melemah jika
latihan dihentikan.
Contoh: Bila peserta didik dalam belajar
bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kata, maka saat ada stimulus
berupa pertanyaan “apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia….” maka
peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau
mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal atau mencari,
ia tidak akan memberikan respons dengan benar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
prinsip utama belajar adalah pengulangan. Makin sering suatu pelajaran diulang,
akan semakin banyak yang dikuasainya. Sebaliknya, semakin tidak pernah diulang,
pelajaran semakin sulit untuk dikuasai.
c. Hukum
Akibat (The Law of Effect)
Hubungan stimulus-respons akan semakin
kuat, jika akibat yang ditimbulkan memuaskan. Sebaliknya, hubungan itu akan
semakin lemah, jika yang dihasilkan tidak memuaskan. Maksudnya, suatu perbuatan
yang diikuti dengan akibat yang menyenangkan akan cenderung untuk diulang.
Tetapi jika akibatnya tidak menyenangkan, akan cenderung ditinggalkan atau
dihentikan. Hubungan ini erat kaitannya dengan pemberian hadiah (reward) dan
sanksi (punishment).
Contoh: Peserta didik yang biasa
menyontek lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai baik, anak didik itu
akan cenderung mengulangnya, sebab ia merasa diuntungkan dengan kondisi seperti
itu. Tetapi, bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga temannya tahu kalau ia
menyontek, ia akan merasa malu (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada
kesempatan lain, ia akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, sebab
ia merasakan ada hal yang tidak menyenangkan baginya.
2. Teori
Classical Conditionins
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah
Ivan Petrovich Pavlov, warga Rusia yang hidup pada tahun 1849-1936. Teorinya
adalah tentang condi¬tioned reflects. Pavlov mengadakan penelitian secara
intensif mengenai kelenjar ludah. Penelitian yang dilakukan Pavlov menggunakan
anjing sebagai objeknya. Anjing diberi stimulus dengan makanan dan isyarat
bunyi, dengan asumsi bahwa suatu ketika anjing akan merespons stimulan
berdasarkan kebiasaan.
Ketika akan makan, anjing mengeluarkan
liur sebagai isyarat dia siap makan. Percobaan itu diulang berkali-kali, dan
pada akhirnya percobaan dilakukan dengan memberi bunyi saja tanpa diberi
makanan. Hasilnya, anjing tetap mengeluarkan liur dengan anggapan bahwa di
balik bunyi itu ada makanan. Lewat penemuannya, Pavlov meletakkan dasar
behaviorisme sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi berbagai penelitian mengenai
proses belajar dan pengembangan teori-teori belajar.
Prinsip
belajar menurut Pavlov adalah sebagai berikut:
a. Belajar
adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/ mempertautkan antara
perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah.
b. Proses
belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
c. Belajar
adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme/individu.
d. Setiap
perangsang akan menimbulkan aktivitas otak.
e. Semua
aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibitasi.
3. Humanistik
Teori ini pada dasarnya memiliki tujuan
untuk ,memanusiakan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap
berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya
sendiri. Dengan kata lain si pembelajar dalam proses belajarnya harus berusaha
agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya
yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri
sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang
ada dalam diri mereka.
Menurut aliran Humanistik para pendidik
sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan
kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapah psikolog humanistik
melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk berkembang untuk menjadi
lebih baik dan belajar. Secara singkat pendekatan humanistik dalam pendidikan
menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi
manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan
mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal
sosial dan metode untuk mengembangkan diri yang ditujukan untuk memperkaya
diri,menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Keterampilan atau
kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam
pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik. Dalam teori
humanistik belajar dianggap berhasil apabila pembelajar memahami lingkungannya
dan dirinya sendiri.
Akhirnya , dapat disimpulkan pendidkan
merupakan syarat mutlak apabila manusia ingin tampil dengan sifat-sifat hakikat
manusia yang dimilikinya. Dan untuk bisa bersosialisasi antar sesama manusia
inilah manusia perlu pendidikan. Definisi tentang pendidikan banyak sekali
ragamnya dengan definisi yang satu dapat berbeda dengan yang lainnya. Hal ini
dipengaruhi oleh sudut pandang masing-masing. Pendidikan, seperti sifat
sasarannya yaitu manusia, mengandunga banyak aspek dan sifatnya sangat
kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak ada satu batasan pun
secara gamblang dapat menjelaskan arti pendidikan. Batasan tentang pendidikan
yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam dan kandungannya dapat berbeda yang
satu dengan yang lain. Perbedaan itu bisa karena orientasinya, konsep dasar
yang digunakannya, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang
melandasinya. Yang terpenting dari semua itu adalah bahwa pendidikan harus dilaksanakan
secara sadar, mempunyai tujuan yang jelas, dan menjamin terjadinya perubahan ke
arah yang lebih baik.
Teori-teori
pendidikan yang dihubungkan dengan filsafat
Selain itu, teori-teori pendidikan pun dihubungkan
dengan berbagai aliran filsafat. Hal ini, dikarenakan terdapat kaitan yang
sangat erat antara filsafat dengan pendidikan, karena filsafat mencoba
merumuskan citra tentang manusia dan masyarakatnya, sementara pendidikan
berusaha mewujudkan citra tersebut.
Filsafat pendidikan berusaha menjawab secara kritis
dan mendasar berbagai pertanyaan pokol sekitar pendidikan, seperti apa,
mengapa, kemana, bagaimana, dsb.
Aliran-aliran
filsafat pada gilirannya melahirkan filsafat-filsafat pendidikan seperti:
Ø Idealisme
Ø Realism
Ø Perenialisme
Ø Essensialisme
Ø Pragmatism
Ø Progresivisme
Ø Eksistensialisme.
Namun
demikian, kita mempunyai filsafat pendidikan nasional tersendiri, yaitu, Pancasila.
Idealisme
menegaskan bahwa hakikat kenyataan adalah ide sebagai gagasan kejiwaan.
Menurutnya apa yang dianggap kebenaran realitas hanyalah bayangan atau refleksi
dari ide sebagai kebenaran yang bersifat mental. Variasi dari aliran ini di
antaranya :
ü Spiritualisme
ü Rasionalisme
ü Neo-kantianisme
Umumnya
aliran ini menekankan bahwa pendidikan merupakan kegiatan intelektual untuk
membangkitkan ide yag masih laten antara lain melalui instropeksi dan Tanya
jawab. Karena itu lembaga pendidikan/sekolah harus berfungsi membantu siswa
mencari dan menemukan kebenaran, keindahan, dan kehidupan yang teratur.
Tujuan
pendidikan adalah untuk membantu perkembangan pikiran dan diri pribadi siswa.
Kurikulum nya berisikan pendidikan liberal dan vokasional/praktis. Metodenya
harus berupa struktur dan atmosfir yang member kesempatan siswa untuk berfikir.
Naturalisme
merupakan aliran filsafat yang mengangap
segala kenyataan yang bisa ditangkap oleh panca indera sebagai kebenaran yang
sebenarnya. Variasi dari aliran ini diantaranya :
Realisme
menekankan adanya pengakuan adanya kenyataan hakiki yang objektif; tujuan
pendidikan agar para siswa bertahan hidup di dunia yang bersifat alamiah dan
memperoleh keamanan dan hidup bahagia. Kurikulum sebaiknya meliputi :
1. Sains/IPA
dan matematika
2. Ilmu
kemanusiaan dan ilmu social
3. Nilai-nilai
Metode
pendidikan berupa pembiasaan dan metode mengajar bersifat otoriter.
Positivism
mengemukakan bahwa jika sesuatu disebut ada maka sesuatu itu harus dapat
diamati dan diukur karena Positivism sangat mengutamakan ilmiah.
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang mengemukakan
bahwa segala sesuatu harus dinilai dari segi nilai kegunaan praktis. Pendidikan
yaitu suatu proses eksperimental dan metode mengajar yang penting berupa
pemecahan masalah. Tujuan pendidikan
harus mengajarkan seseorang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap
perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Metodenya berupa pemecahan masalah,
penyelidikan dan penemuan. Kurikulummya berbasis masyarakatm lahan praktek
cita-cita demokratis.
Konstruktivisme
lebih menekankan pada perkembangan konsep pengertian yang mendalam sebagai
hasil konstruksi aktif si pelajar dalam tujuan pendidikannya. Krurikulumnya
berupa program aktivitas antara pengetahuan dan keterampilan.
Pancasila memandang tujuan pendidikan seyogyanya untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Kurikulum disesuaikan dengan jenjang pendidikan, dan menggunakan metode-metode
pilihan yang disesuaikan. Orientasi pendidikan ditujukan untuk fungsi konservasi
dan juga fungsi kreasi.